Laman

Rabu, 16 Maret 2011

public goods


PUBLIC GOODS

Manfaat dari pengklasifikasian barang atau jasa mempermudah dalam menentukan pengaturan-pengaturan tentang institusi (lembaga) mana yang paling berperan dalam penyediaannya.
“Pure public goods have two critical properties. The first is that it is not feasible to ration their use. The second is that it is not desirable to ration their use.” (Stiglitz, 188:199).
Barang publik (public goods) adalah barang yang apabila dikonsumsi oleh individu tertentu tidak akan mengurangi konsumsi orang lain akan barang tersebut. Suatu barang publik merupakan barang-barang yang tidak dapat dibatasi siapa penggunanya dan sebisa mungkin bahkan seseorang tidak perlu mengeluarkan biaya untuk mendapatkannya. Barang publik adalah untuk masyarakat secara umum (keseluruhan) sehingga dari semua kalangan dapat menikmatinya.
Contoh barang publik ini diantaranya udara, cahaya matahari, papan marka jalan, lampu lalu lintas, pertahanan nasional, pemerintahan dan sebagainya. Akan sulit untuk menentukan siapa saja yang boleh menggunakan barang publik karena keberadaannya memang untuk konsumsi semua orang.
Penilaian terhadap sifat publik atau privat dari sebuah barang maupun jasa tidak bisa dinilai berdasarkan karakteristik inheren yang dimilikinya. Menurut Gaye Yilmaz (2005), sifat “publik” dari sebuah barang atau jasa merujuk pada persoalan cara barang atau jasa tersebut diberikan (delivered) kepada masyarakat. Penilaian terhadap sifat publik atau privat dari sebuah barang maupun jasa tidak bisa dinilai semata-mata berdasarkan apakah ia dapat diperdagangkan atau tidak. Menurut Yilmaz, sesuatu disebut sebagai public goods ketika negara memiliki peran utama dalam proses pengadaan maupun penyalurannya sehingga dapat dinikmati oleh seluruh warga negara. Di sini, negara meyakini bahwa ia merupakan kebutuhan bersama. Dalam dunia nyata jarang sekali barang yang bersifat publik atau privat 100%, kebanyakan bersifat publik semu dengan derajad kesemuan yang berbeda-beda
Pemerintah pun pada hakikatnya hanya dapat terwujud karena diadakan oleh publik. Pihak pemerintah pun mengadakan barang publik dengan meminta kontribusi dari publik, diantaranya dengan pajak. Selain itu, seringkali juga pemerintah dapat bertindak sebagai fasilitator penyedia barang publik untuk kemudian hanya masyarakat tertentu yang bisa menikmatinya atau untuk meningkatkan efisiensi produksinya kemudian bekerja sama dengan sektor swasta dengan batasan-batasan tertentu. Contohnya penyediaan tenaga listrik atau pengolahan air bersih, yang hanya dapat dinikmati oleh mereka yang membayar untuk itu, atau membangun jalan dan jembatan juga dari pajak, dsb. Bisa saja kemudian masyarakat sendiri yang menyediakan barang publik untuk pemenuhan kebutuhannya, misalnya dengan kerja bakti dsb. Disisi lain, pemerintah memiliki kesulitan dalam mengatur jumlah penarikan kontribusi secara langsung kepada para pengguna public goods, karena pembayaran tidak berhubungan langsung dengan permintaan maupun pemanfaatannya. Untuk itu diperlukan mekanisme pasar yang diatur melalui suatu proses politik yang dapat menentukan seberapa banyak public goods yang harus disediakan dan seberapa besar kontribusi yang harus dibayar oleh para pengguna baik melalui pajak, retribusi maupun bentuk-bentuk kontribusi lainnya.
Sektor swasta tentu akan menyerahkan pada pihak lain untuk mengadakan barang publik karena terlalu tidak efisien bagi mereka. Hal ini kemudian menimbulkan penafsiran bahwa konteks public goods adalah barang yang harus disediakan oleh pemerintah. Hal ini tidak selamanya benar. Karena penggunaannya yang untuk publik, maka pada hakikatnya, publiklah yang juga harus menyediakannya. Savas (2000 : 53) mengemukakan bahwa masyarakat dapat menyediakan sendiri kebutuhan akan barang atau jasa yang bersifat kolektif melalui voluntary action (kesukarelaan).
Public goods di dalam komunitas yang cukup besar dan relatif kompleks membutuhkan peralatan dan biaya yang relatif lebih banyak. Untuk itu diperlukan kontribusi dari masyarakat untuk mengatur penyediaannya, misalnya dengan menerapkan sistem pajak sebagai bentuk dari kontribusi dan hasil pengumpulannya digunakan untuk membiayai kegiatan tersebut. Disinilah peran pemerintah dibutuhkan untuk memfasilitasi kepatuhan masyarakat terhadap aturan-aturan dalam memberikan kontribusi, misalnya memberikan sangsi kepada masyarakat yang tidak taat pajak atau sebaliknya memberikan insentif kepada yang taat membayar pajak.
Barang publik memiliki ciri-ciri yang membedakannya dengan barang lainnya, yakni :
  1.  Non exclusive
Apabila suatu barang publik tersedia, tidak ada yang dapat menghalangi siapapun untuk memperoleh manfaat dari barang tersebut atau dengan kata lain, setiap orang memiliki akses ke barang tersebut. Jadi semua orang, baik orang tersebut membayar maupun tidak membayar dalam mengkonsumi barang atau jasa tersebut, ia tetap memperoleh manfaat.
Sebagai contoh dalam konteks pasar, baik mereka yang membayar maupun tidak membayar dapat menikmati barang tersebut. Sebagai contoh, masyarakat membayar pajak yang kemudian diantaranya digunakan untuk membiayai penyelenggaraan jasa kepolisian misalnya, akan tetapi yang kemudian dapat menggunakan jasa kepolisian tersebut tidak hanya terbatas pada yang membayar pajak saja. Mereka yang tidak membayar pun dapat mengambil menfaat atas jasa tersebut. Singkatnya, tidak ada yang dapat dikecualikan (excludable) dalam mengambil manfaat atas barang publik. Contoh yang lain adalah Hankam. Semua penduduk mendapat perlindungan yang sama dalam bidang Hankam, baik mereka yang membayar jasa Hankam maupun yang tidak membayar. Hal serupa dapat diterapkan pada tingkat lokal seperti program pengendalian nyamuk atau program pencegahan melawan penyakit. Dalam kasus ini sekali program tersebut diimplementasikan, seluruh penduduk dari komunitas tersebut diuntungkan, dan tidak seorangpun dapat dikecualikan dai manfaat tersebut, tanpa memperhitungkan apakah mereka membayar atau tidak.
  1. Non Rivalry
Non-rivalry dalam penggunaan barang publik berarti bahwa penggunaan satu konsumen terhadap suatu barang tidak akan mengurangi kesempatan konsumen lain untuk juga mengkonsumsi barang tersebut. Setiap orang dapat mengambil manfaat dari barang tersebut tanpa mempengaruhi menfaat yang diperoleh orang lain.
Sebagai contoh, dalam kondisi normal, apabila kita menikmati udara bersih dan sinar matahari, orang-orang di sekitar kita pun tetap dapat mengambil manfaat yang sama, atau apabila kita sedang mendengar adzan dari sebuah mesjid misalnya, tidak akan mengurangi kesempatan orang lain untuk ikut mendengarnya. Kemudian misalkan satu tambahan mobil melintas di jalan raya selama periode tidak ramai. Karena jalan tersebut sudah ada, satu lagi kendaraan melintas tidak membutuhkan sumberdaya tambahan dan tidak mengurangi konsumsi pihak lainnya. Satu lai tambahan pemirsa pada satu saluran televisi tidak akan menambah biaya meskipun tindakan ini menyebabkan terjadinya tambahan konsumsi. Konsumsi oleh tambahan pengguna dari barang semacam itu adalah nonrivalitas/nonpersaingan sehingga tambahan konsumsi tersebut membutuhkan biaya marjinal sosial dari produksi sebesar nol; konsumsi tersebut tidak mengurangi kemampuan orang lain untuk mengkonsumsi.
  1. Joint consumption
Barang atau jasa dapat digunakan atau dikonsumsi bersama-sama. Suatu barang atau jasa dapat dikatakan memiliki tingkat joint consumption yang tinggi jika barang atau jasa tersebut dapat dikonsumsi bersama-sama secara simultan dalam waktu yang bersamaan (joint consumption) tanpa saling meniadakan manfaat (rivalitas) antara pengguna yang satu dan lainnya. Sedangkan untuk barang atau jasa yang hanya dapat dimanfaatkan oleh seseorang dan orang lain kehilangan kesempatan menikmatinya, maka barang atau jasa tersebut dikatakan memiliki tingkat joint consumption yang rendah.
  1. Externalities
Eksternalitas. Secara umum, eksternalitas akan terjadi apabila masyarakat mendapatkan dampak atau efek-efek tertentu diluar barang atau jasa yang terkait langsung dengan mekanisme pasar. Dalam konteks mekanisme pasar, Keterkaitan suatu kegiatan dengan kegiatan lain yang tidak melalui mekanisme pasar inilah yang disebut dengan eksternalitas. Dapat dikatakan bahwa eksternalitas adalah suatu efek samping dari suatu tindakan pihak tertentu terhadap pihak lain, baik dampak yang menguntungkan maupun yang merugikan. Mudahnya, ini adalah efek yang terjadi diluar apa yang mungkin diharapkan atau didapat dari penyelenggaraan suatu barang atau jasa.
Dapat dibedakan menjadi dampak positif (External Benefit) atau dampak negatif (External Cost) yang diperoleh dari memproduksi, mendistribusikan atau memngkonsumsikan barang atau jasa yang dibebankan kepada orang lain yang tidak secara langsung mengkonsumsi barang tersebut.
Contoh External Benefit: Imunisasi, pendidikan dasar. Dengan dilakukan imunisasi, maka terjangkitnya penyakit tersebut dalam masyarakat menjadi kecil.
Contoh External Cost :
rumah-rumah yang terletak di pinggir jalan akan mendapat polusi dari kendaraan yang melalui jalan itu, padahal mereka tidak membayar untuk itu. Polusi ini adalah contoh eksternalitas negatif. Contoh lain, sebuah taman yang cukup besar dibangun di tengah kota dengan tujuan untuk dijadikan obyek wisata dan menambah pendapatan kota tersebut. Eksternalitas yang kemudian mungkin terjadi adalah efek estetika kota dan udara yang relatif lebih bersih di sekitar taman tersebut. Ini adalah contoh eksternalitas positif. Disebut eksternalitas karena efek-efek ini terjadi diluar tujuan penyelenggaraannya. Kita tidak akan terlalu banyak membahas mengenai terminologi eksternalitas ini karena konteksnya dapat sangat meluas. Kita hanya perlu memahami pengertian dasarnya saja.
  1. Indivisible
Yakni tidak bisa dibagi-bagi dalam satuan unit yang standar untuk bisa di delivery.
  1. Marginal Cost = 0
Artinya, tidak ada tambahan biaya untuk memproduksi tambahan satu unit output
Contoh : biaya untuk bikin jalan tol utk satu atau seratus orang adalah sama. Dibiayai oleh tarif atau harga, disediakan melalui mekanisme birokrasi atau politik.
Jenis barang dan jasa berdasarkan karaketeristiknya

Easy to exclude
Difficult to exclude
Individual consumption
Individual goods
(e.g.: food, clothing, shelter)
Common-pool goods
(e.g., fish in the sea)
Joint consumption
Toll goods
(e.g., cable TV, telephone, electric power)
Collective goods
(e.g., national defense, felons)
Sumber : E.S. Savas, 2000:62 )

Efek-efek yang terkait dengan kedua sifat barang publik ini adalah
Free riders. Free riders ini adalah mereka yang ikut menikmati barang publik tanpa mengeluarkan kontribusi tertentu sementara sebenarnya ada pihak lain yang berkontribusi untuk mengadakan barang publik tersebut. Contohnya adalah mereka yang tidak membayar pajak tadi, tapi ikut menikmati jasa-jasa atau barang-barang yang diadakan atas biaya pajak. Contoh lain, sebuah jalan desa dibangun dengan kerja bakti. Free rider kemudian adalah mereka yang tidak ikut kerja bakti, tetapi kemudian ikut menggunakan jalan desa tersebut. Dalam ilmu ekonomi, keberadaan masalah free rider dan eksternalitas inilah yang kemudian menyebabkan terjadinya inefisiensi pasar.
Sektor swasta biasanya kemudian mengembankan cara-caranya sendiri untuk mengatasi efek eksternalitas dan free rider yang dapat menimbulkan inefisiensi tersebut. Contohnya, siaran televisi sebenarnya dapat digolongkan sebagai public goods bagi seluruh pemilik televisi. Akan tetapi, sektor swasta misalnya kemudian mengembangkan sistem periklanan atau sistem TV-kabel yang mengacak transmisi siaran sehingga hanya dapat ditangkap dengan dekoder tertentu agar hanya mereka yang membeli dekoder itu yang dapat menikmati siarannya. Contoh lain adalah sistem jalan toll, sehingga hanya mereka yang membayar yang dapat menggunakan jalan tersebut. Untuk menghindari adanya free riders dibutuhkan kekuatan pemerintah untuk memberlakukan paksaan (kewajiban) kepada masyarakat untuk memberikan kontribusi.
Di dalam penggolongan barang publik terdapat kerancuan dikarenakan sifatnya yang non-excludable namun justru menimbulkan rivalry atau non-rivalry yang justru menimbulkan excludable. Kita bisa sepakat bahwa jalan merupakan fasilitas umum, public good, dan siapapun berhak menggunakan jalan raya sebagai sarana perhubungan. Akan tetapi, dapat kita bayangkan apabila terlalu banyak pengguna jalan yang memakai satu jalan di satu waktu maka dapat menyebabkan kemacetan lalu lintas. Keberadaan satu kendaraan dapat mengurangi kesempatan kendaraan lain untuk dapat mengambil manfaat jalan itu secara optimal. Dengan kata lain, jalan raya bersifat non-excludable, akan tetapi dia menimbulkan rivalry, terutama dalam kondisi macet. Kondisi yang menyebabkan atau memaksa terjadinya hal ini adalah terbatasnya ketersediaan lahan untuk membangun jaringan jalan. Kita tidak bisa begitu saja membangun sebuah jaringan jalan karena lahan terbatas dan masih banyak fungsi-fungsi lain yang memerlukan lahan tersebut. Contoh lain adalah air bersih. Kita sepakat bahwa semua orang membutuhkan air bersih, dan karena itu, secara alamiah air harus kita golongkan kedalam public goods, seperti halnya udara dan sinar matahari. Tetapi, apabila kita melihat contoh kasus pada PDAM, pengolahan air bersih membutuhkan biaya mahal. Untuk itu, jasa PDAM kemudian hanya diberlakukan pada mereka yang membayar. Mereka yang selama beberapa waktu tidak membayar maka tidak bisa lagi menikmati jasa PDAM itu. Artinya, dia bersifat excludable. Selain itu, penggunaan air bisa optimal apabila sumber air bersihnya melimpah atau jumlah penggunanya tidak terlalu banyak. Akan tetapi, dalam kondisi dimana air bersih merupakan sesuatu yang sedang langka atau penggunanya sangat banyak, penggunaan oleh satu konsumen dapat mengurangi kesempatan konsumen lain untuk menggunakan air bersih. Dengan demikian, dalam kondisi tertentu, dia bisa bersifat rivalry. Meskipun begitu, sekali lagi, karena selama ini kita mengenal air bersih sebagai salah satu kebutuhan primer.semua orang dan karenanya harus dkelompokkan sebagai barang publik. Selain itu ada satu sisi, teknologi dapat dikategorikan sebagai barang publik dan pada sisi yang lain, dia juga dapat berfungsi sebagai barang pribadi. Pertanyaannya, di manakah batas antara teknologi sebagai barang publik dan sebagai barang pribadi ? Hal ini tergantung pada jenis teknologi dan dampaknya bagi masyarakat luas. Jika suatu jenis teknologi memiliki dampak sosial dan ekonomi yang mau tidak mau akan dinikmati banyak orang, maka teknologi tersebut adalah barang publik. Oleh karena itu, adalah kewajiban pemerintah untuk mengeluarkan biaya bagi pengembangan dan pengadaannya. Jenis teknologi ini meliputi transportasi massal, kesehatan, energi, pendidikan, infrastruktur, dan komunikasi. 
Masalah penyediaan public goods muncul karena sulitnya memperkirakan seberapa besar kebutuhan akan barang atau jasa yang perlu disediakan. Masalah lain yang terjadi juga disebabkan oleh sifat dari public goods yang digunakan secara kolektif, dimana seseorang hanya punya pilihan terbatas untuk mendapatkan layanan atau barang tersebut (public goods).














DAFTAR PUSTAKA




Indoahono, Dwiyanto. Perbandingan Ilmu Administrasi Publik. 2009. Yogyakarta: Gava Media

Selasa, 15 Maret 2011

kesenjangan pembangunan di wilayah purwokerto


TUGAS TERSTRUKTUR
KESENJANGAN PEMBANGUNAN ANTARWILAYAH DI PURWOKERTO
MEMENUHI SALAH SATU TUGAS TERSTRUKTUR
TEORI PEMBANGUNAN


 



Disusun Oleh :
Anita Alawiyah                      : F1B008055
Diaz Eka Nugraheni               : F1B008092
      Marya Ulfah                           : F1B008104       

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
JURUSAN ILMU ADMINISTRASI NEGARA
PURWOKERTO
2010
BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang Masalah
Ada beberapa definisi pembangunan menurut para ahli memberikan definisi yang bermacam-macam seperti halnya peren­canaan. Istilah pembangunan bisa saja diartikan berbeda oleh satu orang dengan orang lain, daerah yang satu dengan daerah lainnya, Negara satu dengan Negara lain.  Namun secara umum ada suatu kesepakatan bahwa pemba­ngunan merupakan proses untuk melakukan perubahan (Riyadi dan Deddy Supriyadi Bratakusumah, 2005).
Siagian (1994) memberikan pengertian tentang pembangunan sebagai “Suatu usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan per­ubahan yang berencana dan dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara dan pemerintah, menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa (nation building)”. Sedangkan Ginanjar Kartasas­mita (1994) memberikan pengertian yang lebih sederhana, yaitu sebagai “suatu proses perubahan ke arah yang lebih baik melalui upaya yang dilakukan secara terencana”.
Siapapun akan mengakui bahwa pembangunan merupakan kegiatan yang rumit karena sifatnya yang multifaset dan multidimensional. Karakteristik demikian merupakan tuntutan kehidupan berbangsa dan bernegara. Itulah sebabnya bidang-bidang yang menjadi “objek” pembangunan termasuk bidang politik, ekonomi, pertahanan, dan keamanan, sosial budaya, pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan administrasi pemerintahan negara.
Konsepsi pembangunan sejalan dengan kajian terhadapnya maupun implementasi diberbagai wilayah dikemukakan berbagai kelemahan. Kelemahan tersebut muncul seiring ditemukannya fenomena yang khas, antara lain kesenjangan, kemiskinan, pengelolaan public good yang tidak tepat, lemahnya mekanisme kelembagaan dan sistem politik yang kurang berkeadilan. kelemahan-kelemahan itulah yang menjadi penyebab hambatan terhadap gerakan maupun aliran penduduk, barang dan jasa, prestasi, dan keuntungan (benefit) dan kerugian (cost) di dalamnya. Seluruh sumberdaya ekonomi dan non-ekonomi menjadi terdistorsi alirannya sehingga divergence menjadi makin parah. Akibatnya, hasil pembangunan menjadi mudah diketemukan antar wilayah, sektor, kelompok masyarakat, maupun pelaku ekonomi.
Paradigma baru pembangunan yang lebih menitikberatkan kepada pemerataan dan peran serta aktif masyarakat dimulai dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 22 tahun 1999 mengenai Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 mengenai Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Dengan Undang-undang yang baru ini maka pembangunan akan lebih menitikberatkan kepada aspek desentralisasi. Dalam hubungannya dengan desentralisasi tersebut otonomi daerah menurut Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat lokal. Secara harfiah otonomi daerah berarti hak wewenang serta kewajiban daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
Kondisi fisik atau lokalisasi kota menggambarkan tentang bentuk fisik kota.
Dengan informasi mengenai kondisi fisik atau lokalisasi kota dapat membantu dalam mengidentifikasikan keunggulan dan kelemahan kota dalam rangka pembangunan. Begitu pula dalam pembangunan Kota Purwokerto sebagai kota investasi. Informasi kondisi fisik atau lokalisasi kota Purwokerto tentunya sangat membantu dalam menentukan aspek-aspek yang perlu dipertimbangkan dalam mewujudkan arah pembangunan kota Purwokerto sebagai kota investasi.
Purwokerto cukup berada pada lokasi yang strategis di bagian Jawa Tengah. Posisi Kabupaten Banyumas itu sebagai sentral, karena Kota Purwokerto merupakan ibu kota Banyumas dan Eks Karesidenan Banyumas (Cilacap, Purbalingga, Banjar Negara dan Banyumas) ibu kotanya di Purwokerto. Disamping itu, wilayah-wilayah sekitar, seperti Bumiayu, Ciamis, Kebumen, kebanyakan masyarakatnya, untuk pelayanan kesehatan ataupun cari kebutuhan hidup, baik yang berkaitan dengan dagang, kesehatan, pendidikan, lainnya, kesini, sehingga Purwokerto sangat potensial untuk dikembangkan lebih maju.
Kalau dilihat dari sejarahnya, Purwokerto asalnya berstatus Kota Administratif (Kotif), di mana Kotif lainnya di Indonesia sudah menyandang status Kota dengan  otonomi tersendiri. Kalau Purwokerto berhasil menjadi Kota, minimal ada 4 Kecamatan yang tergabung:
1. Purwokerto Barat
2. Purwokerto Timur
3. Purwokerto Utara
4. Purwokerto Selatan
Walaupun Purwokerto menjadi daerah yang sedang berkembang pembangunannya namun tidak semua wilayah mendapatkan pemerataan pembangunan. Sebagai contoh Purwokerto Timur dan Utara yang berkembang lebih pesat daripada Purwokerto bagian Barat dan Selatan. Purwokerto bagian Utara dan Timur yang lebih mendapatkan perhatian oleh pemerintah daerah setempat dalam bidang pembangunan infrastruktur, transportasi, maupun tata kota.
Inilah yang menjadi pembahasan utama penelitian ini, yakni kesenjangan pembangunan di wilayah Purwokerto Utara, Timur, Barat, dan Selatan.


1.2  Perumusan Masalah
Dari latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, dirumuskan masalah
a.       Faktor-faktor yang menyebabkan kesenjangan pembangunan di Purwokerto Utara, Timur, Barat dan Selatan.
b.      Akibat kesenjangan pembangunan bagi masyarakat Purwokerto.

1.3  Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui seberapa besar pengaruh kesenjangan pembangunan suatu daerah terhadap kondisi sosial masyarakat.


1.4  Manfaat Penelitian
1.       Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan dan wawasan baru terhadap perkembangan ilmu sosial pada umumnya serta Ilmu Administrasi Negara pada khususnya tentang pembangunan daerah.
2.       Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dalam rangka meningkatkan pembangunan di tingkat daerah.














BAB II
HASIL REPORTASE

A.    Lokasi Reportase :
Reportase dilakukan di empat lokasi, yakni di Jl. H.R Boenyamin, Jl. Jendral Soedirman, Jl. Martadireja, dan daerah Teluk.
B.     Waktu Pelaksanaan :
Rabu, 22 Desember 2010
Pukul : 09.00-12.00
C.     Narasumber :
-          Bapak Agus selaku tukang becak Jl.H.R Boenyamin.
-          Ibu Dewi dan Bpk. Joko selaku pedagang kaki lima Jl.Jenderal Soedirman.
-          Bapak Sutarno dan Bpk.Dikin selaku sopir angkot kawasan Martadireja- Duku Waluh
-          Ibu Sri selaku ketua RT 02, Perumnas Teluk.
D.    Pertanyaan Wawancara yang diajukan :
1.      Apakah Bapak/Ibu sebagai penduduk asli Purwokerto ?
2.      Sudah berapa lama Bapak/Ibu tinggal di Purwokerto ?
3.      Sudah berapa lama Bapak/Ibu menggeluti profesi yang sekarang ?
4.    Dilihat dari profesi Bapak/Ibu sekarang, bagaimana pendapat Bapak/Ibu mengenai infrastruktur kota ini (Purwokerto) yang mencakup jalan, jembatan, maupun fasilitas umum ?
5.    Menurut Bapak/Ibu Apakah pemerintah sudah memberikan perhatian yang baik terhadap pembangunan infrastruktur kota ini ?
6.    Sebagai warga Purwokerto, apa harapan Bapak/Ibu terhadap kualitas pembangunan infrastruktur di kota ini?
7.    Bagaimana menurut pendapat Bapak/Ibu tentang transportasi di kawasan ini?
8.    Apakah transportasi di kawasan ini telah mendukung aktifitas Bapak/Ibu?
9.      Dilihat dari kaca mata Bapak/Ibu, bagaimana tata kota di kawasan ini sekarang ?
10.  Apakah Bapak/Ibu melihat adanya kesenjangan pembangunan di tiap wilayah ?
11.  Bagaimana pendapat Bapak/Ibu untuk melihat pembangunan Purwokerto dikemudian hari ?
E.     Jawaban Wawancara
A.     Bpk. Agus, narasumber di wilayah Purwokerto Utara (Jl. H.R Boenyamin)
Bapak Agus yang merupakan penduduk asli Purwokerto berprofesi sebagai tukang becak selama hampir sepuluh tahun berkomentar mengenai infrastruktur Purwokerto Utara. Beliau berpendapat bahwa Purwokerto Utara berkembang pesat baik itu jalan yang sudah diperlebar dan banyaknya pertokoan sebagai investasi perekonomian Purwokerto sendiri. Sebagai contoh, banyaknya toko baju, rumah makan, serta mini market. Beliau berpendapat bahwa pemerintah sudah memberikan perhatian yang cukup baik terhadap infrstruktur di kawasan ini dikarenakan kawasan ini merupakan kawasan mahasiswa sehingga mendorong para investor untuk menginvestasikan modalnya untuk membuat suatu usaha yang memantu perkembangan perekonomian Purwokerto. Namun beliau tetap berharap pemerintah daerah untuk lebih mengontrol kawasan ini agar menjadi kawasan pendidikan yang baik. Namun Beliau sangat menyayangkan minimnya pengguna transportasi umum di kawasan ini karena begitu sedikitnya masyarakat yang menggunakan transportasi umum. Mereka lebih memilih untuk menggunakan kendaraan pribadi. Inilah yang menyebabkan pendapatan beliau kurang.
Selama sepuluh tahun Beliau menggeluti profesi sebagai tukang becak, beliau melihat banyaknya perbedaan bangunan maupun tata kota di Jl.H.R Boenyamin. Selain jalan yang lebih lebar, sistem penerangan juga menjadi lebih baik. Beliau cukup puas dengan perkembangan pembangunan di Purwokerto bagian Utara.

B.     Ibu Dewi dan Bapak Joko
Ibu Dewi dan bapak Joko selaku pendatang dari Tegal yang berprofesi sebagai pedagang kaki lima di kawasan Jl. Jenderal Soedirman, Purwokerto Timur sudah hampir empat tahun tinggal di Purwokerto. Sebagai pendatang, mereka berpendapat bahwa fasilitas umum di kawasan ini mudah di dapatkan. Hal ini dikarenakan di kawasan ini merupakan pusat Kota Purwokerto sehingga pemerintah lebih memberikan perhatian lebih terhadap perkembangan di kawasan ini. Mereka berpendapat bahwa transportasi di kawasan ini sangat mudah di jangkau, baik angkutan umum, taksi, maupun becak. Mereka melihat transportasi umum di kawasan banyak di akses oleh masyarakat umum karena mudah dijangkau.
Sebagai pedagang kaki lima, mereka mengaku resah jika terjadi penertiban pedagang kaki lima di kawasan ini. Mereka berharap pemerintah memberikan kawasan tersendiri untuk berdagang. Mereka juga melihat kawasan ini lebih ramai dan tertata daripada wilayah Purwokerto yang lainnya.

C.     Bapak Sutarno dan Bapak Dikin
Bapak Sutarno dan Bapak Dikin berprofesi sebagai sopir angkot jurusan D1 (Purwoerto Barat) mengemukakan pendapat bahwa di kawasan ini lebih didominasi oleh perbengkelan. Beliau mengatakan kemungkinan hal itu dikarenakan kawasan ini merupakan kawasan mahasiswa UMP (Universitas Muhamadiyah Purwokerto) yang banyak memiliki kendaraan pribadi. Mereka mengaku bahwa transportasi umum di kawasan ini lebih sedikit dibandingkan di wilayah Purwokerto Timur maupun Utara. Mereka menganggap pemerintah daerah kurang tanggap terhadap perbaikan infrastruktur jalan di kawasan ini. Hal ini dikarenakan masih banyaknya jalanan yang rusak dan berlubang. Mereka berharap pemerintah daerah peduli terhadap perbaikan jalanan di kawasan ini. Mereka merasa adanya kesenjangan pembangunan di kawasan ini dengan kawasan Purwokerto yang lain. Inilah yang menyebabkan pendapatan mereka kurang memuaskan.

D.    Ibu Sri
Selaku ketua RT perumahan Teluk, Purwokerto Selatan yang beprofesi sebagai ibu rumah tangga dan memiliki warung kecil di depan rumahnya berpendapat bahwa di luar perumahan lebih banyak menggunakan transpotasi umum dibanding di dalam perumahan yang sebagian besar sudah memiliki kendaraan pribadi. Sebagai pemilik warung, beliau mengaku sulit untuk mendapatkan stok belanjaan. Beliau harus menunggu agen atau sales dari tiap pabrik untuk menstok barang dagangan yang berupa kebutuhan sehari-hari. Beliau enggan untuk belanja langsung ke pusat kota (Purwokerto Timur) disebabkan minimnya transportasi umum. Walaupun sudah terdapat terminal namun akses menuju terminalnya cukup jauh. Beliau berharap agar pemerintah memperbaiki infrastruktur jalanan yang sudah semakin rusak sejak adanya pembangunan terminal baru.




















BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Faktor-faktor yang Menyebabkan Kesenjangan Pembangunan Antarkawasan Purwokerto
                       
Teori pembangunan dalam ilmu sosial dapat dibagi ke dalam dua paradigma besar, modernisasi dan ketergantungan (Lewwellen 1995, Larrin 1994, Kiely 1995 dalam Tikson, 2005). Paradigma modernisasi mencakup teori-teori makro tentang pertumbuhan ekonomi dan perubahan sosial dan teori-teori mikro tentang nilai-nilai individu yang menunjang proses perubahan. Paradigma ketergantungan mencakup teori-teori keterbelakangan (under-development) ketergantungan (dependent development) dan sistem dunia (world system theory) sesuai dengan klasifikasi Larrain (1994). Sedangkan Tikson (2005) membaginya kedalam tiga klasifikasi teori pembangunan, yaitu modernisasi, keterbelakangan dan ketergantungan. Dari berbagai paradigma tersebut itulah kemudian muncul berbagai versi tentang pengertian pembangunan.
 Pengertian pembangunan mungkin menjadi hal yang paling menarik untuk diperdebatkan. Mungkin saja tidak ada satu disiplin ilmu yang paling tepat mengartikan kata pembangunan. Sejauh ini serangkaian pemikiran tentang pembangunan telah ber­kembang, mulai dari perspektif sosiologi klasik (Durkheim, Weber, dan Marx), pandangan Marxis, modernisasi oleh Rostow, strukturalisme bersama modernisasi memperkaya ulasan pen­dahuluan pembangunan sosial, hingga pembangunan berkelan­jutan. Namun, ada tema-tema pokok yang menjadi pesan di dalamnya. Dalam hal ini, pembangunan dapat diartikan sebagai `suatu upaya terkoordinasi untuk menciptakan alternatif yang lebih banyak secara sah kepada setiap warga negara untuk me­menuhi dan mencapai aspirasinya yang paling manusiawi (Nugroho dan Rochmin Dahuri, 2004). Tema pertama adalah koordinasi, yang berimplikasi pada perlunya suatu kegiatan perencanaan seperti yang telah dibahas sebelumnya. Tema kedua adalah terciptanya alternatif yang lebih banyak secara sah. Hal ini dapat diartikan bahwa pembangunan hendaknya berorientasi kepada keberagaman dalam seluruh aspek kehi­dupan. Ada pun mekanismenya menuntut kepada terciptanya kelembagaan dan hukum yang terpercaya yang mampu berperan secara efisien, transparan, dan adil. Tema ketiga mencapai aspirasi yang paling manusiawi, yang berarti pembangunan harus berorientasi kepada pemecahan masalah dan pembinaan nilai-nilai moral dan etika umat.
Isu keadilan dalam pembangunan kewilayahan, selalu menjadi perbincangan hangat, terutama terkait dengan masalah “kesenjangan wilayah” (regional imbalances).Sampai saat ini isu kesenjangan wilayah terpusat kepada kesenjangan antara desa dan kota. Banyak pakar yang percaya bahwa kesenjangan wilayah merupakan harga wajar yang harus dibayar dalam proses pembangunan. Sederhana saja alasannya, yakni ada keterkaitan antara wilayah satu dengan wilayah yang lain sebagai sebuah sistem. Dengan kata lain ada proses interaksi dan interdependensi antar subsistem.
Renstra pengembangan wilayah Kota Purwokerto sebagai pusat kegiatan pemerintahan daerah Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, diarahkan ke bagian selatan hingga perbatasan Kabupaten Cilacap yang berjarak ± 50 km. Sedangkan ke utara hanya ± 10 km sampai ujung kawasan hutan wisata Baturraden di lereng Gunung Slamet. Sehingga untuk merealisasikan program pengembangan wilayah Kota Purwokerto ke selatan, perlu dilakukan pembenahan, perbaikan dan penataan di berbagai sektor atau lokasi.
Proses pembangunan terjadi di semua aspek kehidupan masyarakat, ekonomi, sosial, budaya, politik, yang berlangsung pada level makro (nasional) dan mikro (commuinity/group). Makna penting dari pembangunan adalah adanya kemajuan atau perbaikan (progress), pertumbuhan dan diversifikasi.
Beberapa ahli menganjurkan bahwa pembangunan suatu daerah haruslah mencakup tiga inti nilai (Kuncoro, 2000; Todaro, 2000):
1.   Ketahanan (Sustenance): kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok (pangan, papan, kesehatan, dan proteksi) untuk mempertahankan hidup.
2.   Harga diri (Self Esteem): pembangunan haruslah memanusiakan orang. Dalam arti luas pembangunan suatu daerah haruslah meningkatkan kebanggaan sebagai manusia yang berada di daerah itu.
3.   Freedom from servitude: kebebasan bagi setiap individu suatu negara untuk berpikir, berkembang, berperilaku, dan berusaha untuk berpartisipasi dalam pembangunan.
                 Berikut merupakan faktor-fakor penyebab kesenjangan pembangunan antarwilayah di Purwokerto :
1.      Kondisi Ekonomi
Telah menjadi asumsi bahwa peningkatan pendapatan per kapita akan mencerminkan transformasi struktural dalam bidang ekonomi dan kelas-kelas sosial. Dengan adanya perkembangan ekonomi dan peningkatan per kapita, konstribusi sektor manupaktur/industri dan jasa terhadap pendapatan nasional akan meningkat terus. Perkembangan sektor industri dan perbaikan tingkat upah akan meningkatkan permintaan atas barang-barang industri, yang akan diikuti oleh perkembangan investasi dan perluasan tenaga kerja. Di lain pihak, kontribusi sektor pertanian terhadap pendapatan nasional akan semakin menurun.
2.      Urbanisasi
Urbanisasi dapat diartikan sebagai meningkatnya proporsi penduduk yang bermukim di wilayah perkotaan dibandingkan dengan di pedesaan. Urbanisasi dikatakan tidak terjadi apabila pertumbuhan penduduk di wilayah urban sama dengan nol. Sesuai dengan pengalaman industrialisasi di negara-negara eropa Barat dan Amerika Utara, proporsi penduduk di wilayah urban berbanding lurus dengan proporsi industrialisasi. Ini berarti bahwa kecepatan urbanisasi akan semakin tinggi sesuai dengan cepatnya proses industrialisasi. Di Negara-negara industri, sebagain besar penduduk tinggal di wilayah perkotaan, sedangkan di Negara-negara yang sedang berkembang proporsi terbesar tinggal di wilayah pedesaan. Berdasarkan fenomena ini, urbanisasi digunakan sebagai salah satu indicator pembangunan.
3.      Kesempatan Kerja
Kesempatan kerja di sektor-sektor seperti industri besar, kostruksi, perdagangan dan keuangan memang memberikan pendapatan dan nilai tambah yang tinggi namun ketersediaannya lebih banyak di per-kotaan daripada di pedesaan yang didomi-nasi oleh sektor primer, sehingga menimbulkan ketimpangan pendapatan terutama antara perkotaan dengan pedesaan.


4.      Kebijakan Pusat
Pembangunan kewilayahan terkait erat dengan sistem ekonomi-politik sebuah negara. Hal ini juga disepakati oleh Hill (1996), bahwa dengan kebijakan pusat akan terjadi sebuah keputusan untuk mengembangkan wilayah mana saja, dan akan “mengorbankan” wilayah yang lain. Pada masa Orde Baru untuk mengembangkan sebuah wilayah dianut konsep kutub pertumbuhan. Konsep ini menurut Douglass (1998) dilakukan dengan jalan mengalokasikan investasi yang tinggi di sektor industri di pusat kota yang besar. Harapannya, pertumbuhan ekonominya dapat menyebar dan membangkitkan pembangunan wilayah di sekitarnya (spread effect dan trickle down effect). Asumsinya, barang-barang yang dihasilkan diekspor ke luar dan pusat-pusat metropolitan untuk menjadi “mesin pembangunan” (engine of development).


3.2 Akibat Kesenjangan Pembangunan bagi Kondisi Sosial ekonomi Masyarakat Purwokerto

                        Kesenjangan pembangunan di tiap wilayah di Purwokerto menimbulkan beberapa akibat yang terkait dengan kehidupan sosial ekonomi di masyarakat Purwokerto itu sendiri. Berikut merupakan beberapa akibat yang dapat ditimbulkan :
1.      Munculnya tingkat kemiskinan
Kemiskinan merupakan konsep dan fenomena yang berwayuh wajah, bermatra multi-dimensional. SEMERU, misalnya menunjukkan bahwa kemiskinan memiliki beberapa ciri (Suharto et.al.,2004:7-8)
a.       Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (pangan, sandang, dan papan)
b.      Ketiadaan akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih, dan transportasi)
c.       Ketiadaan jaminan masa depan (karena tiadanya investasi untuk pendidikan dan keluarga)
d.      Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun masal
e.       Rendahnya kualitas sumber daya manusia dan keterbatasan sumber daya alam
f.       Ketidakterlibatan dalam kegiatan sosial masyarakat
g.      Ketiadaan akses terhadap lapangan kerja dan mata pencahariaan yang berkesinambungan
h.      Ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental
i.        Ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial (anak terlantar, wanita korban tindak kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok marginal, dan terpencil).

2.      Penelantaran Sumber Daya Lokal
Terganggunya sistem hubungan desa-kota mengakibatkan penelantaran sumberdaya lokal. Hal ini bisa mengakibatkan ketergantungan terhadap luar negeri, seperti masalah rawan pangan di daerah-daerah. Status rawan pangan tersebut bukan karena tidak adanya pangan tetapi lebih karena pangannya tergantung dari pihak lain. Jika kita menilik angka impor pangan dari tahun ketahun selalu melonjak akibat dari pertambahan penduduk, semakin rendahnya produktifitas lahan pertanian serta menurunnya minat petani untuk berproduksi akibat tidak adanya kebijakan dalam meningkatkan kesejahteraan petani penghasil pangan.

  1. Kesenjangan Persepsi dan Krisis Orientasi Pembangunan
Ketimpangan atau kesenjangan dari hasil pembangunan itu sendiri menyodorkan kesenjangan persepsi dan krisis orientasi pembangunan. Artinya, yang kaya semaklin kaya, dan yang tidak berdaya semakin tidak berdaya, padahal makna yang disodorkan oleh jargon pembangunan, baik secara subyektivitasnya maupun obyektivitasnya, secara niscaya tetap adalah untuk meningkatkan kesejahteraan dan keadilan yang merata bagi semua lapisan masyarakat. Dan secara dasariah, keniscayaan mengeliminir gejolak-gejolak dan kekerasan-kekerasan, nyata-nyata diharapkan dalam pelaksanaan pembangunan, namun fakta sosialnya, senantiasa kekerasan atau pembuldozeran oleh kepentingan-kepentingan sistem kekuasaan dan konglomerat.

  1. Adanya keresahan dan ketidakpuasan rakyat, pertama-tama dan terutama lapisan bawah, karena senantiasa menjadi tumbah pembangunan selama ini. Memang, sebagiamana dikemukakan Arief Budiman, bagi rakyat kecil, seringkali pembangunan memiliki arti lain.




BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Dengan demikian, pembangunan adalah merupakan permasalahan moral, karenanya nilai-nilai dalam pembangunan sangat erat hubungannya dengan struktur masyarakatnya. Artinya, perbedaan moralitas masyarakat dengan pemerintah tatkala bersentuhan memang tidak menutup kemungkinan adanya gesekan atau benturan nilai-nilai atas cara pandang mengenai pentingnya pembangunan. Namun, persoalan cara pandang itu, secara niscaya berakibat pada frustasi bahkan kalau hal seperti ini larut tidak menemukan jalan pemecahannya akan mengakibatkan adanya rasa asosial. Akibat rasa asosial itulah disorganisasi masyarakat/sosial dapat terjadi bila memang masing-masing tidak adanya kesepahaman untuk memecahkan persoalan lingkungan (pembangunan perkotaan) secara bersama-sama.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa kesenjangan pembangunan yang tterjadi pada wilayah-wilayah yang sektor-sektor non pertanian atau bisa dikatakan sektor modern seperti jasa, bangunan, angkutan dan komunikasi keuangan dan perdagangan memberikan kontribusi dan meningkat lebih besar dibanding pertanian. Sementara wilayah yang masih memiliki sektor pertanian sebagai sektor utama dan memberikan kontribusi terbesar memiliki kesenjangan yang relatif kecil. Hal ini sesuai dengan teori pertumbuhan model Lewis yang menyatakan bahwa kesenjangan dalam sektor modern yang tengah mengalami pertumbuhan pesat itu sendiri jauh lebih besar daripada yang terkandung dalam sektor tradisional yang relatif stagnan dan konstan.





DAFTAR PUSTAKA

Prof.Dr.P.Siagian.Sondang,M.P.A.Administrasi Pembangunan.2005.Jakarta:PT.Bumi Aksara
Eko, Sutoro.Reformasi Politik dan Pemberdayaan Masyarakat.2004.Yogyakarta:APMD Press.
Suharto,Edi. Membangun Masyarakat Membedayakan Rakyat.2005.Bandung: PT.Refika Aditama